Rabu, 11 April 2012

القرآن هو الحل للمسائل كلّها
Al Qur’an Sumber Solusi Segala Permasalahan


Allah SWT berfirman:

شَهرُ رَمَضانَ الَّذى أُنزِلَ فيهِ القُرءانُ هُدًى لِلنّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِنَ الهُدىٰ وَالفُرقانِ


Bulan Ramadhan, itulah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk (bagi manusia), penjelasan atas petunjuk itu serta sebagai pembeda (QS al-Baqarah [2]: 185).

           Ayat di atas tegas menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT berfungsi sebagai hudan, bayyinat dan furqan. Maknanya, al-Quran adalah petunjuk bagi manusia; memberikan penjelasan tentang mana yang halal dan mana yang haram, juga tentang berbagai hudud dan hukum-hukum Allah SWT; serta pembeda mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: al-Baidhawi/I/220; Ibn Abi Salam, I/154; an-Nasisaburi, I/48; As-Suyuthi, I/381).
           Lebih tegas dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aysar at-Tafasir, saat menafsirkan potongan ayat di atas, bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia yang bisa mengantarkan mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maknanya, al-Quran turun dalam rangka: (1) memberi manusia petunjuk;
(2) menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk itu;
(3) menerangkan jalan kebahagiaan dan kesuksesan mereka;
(4) memandu mereka agar bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam seluruh urusan kehidupan mereka (Al-Jazairi, I/82).

Al-Quran: Sumber Solusi

Dengan memahami maksud ayat di atas, jelas harus dikatakan bahwa al-Quran sesungguhnya sumber solusi bagi setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat berikut:

وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ وَهُدًى وَرَحمَةً وَبُشرىٰ لِلمُسلِمينَ
"Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim" (QS an-Nahl [16]: 89).

Menurut Al-Jazairi (II/84), frasa tibyan[an] li kulli syay[in] bermakna: menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat (Al-Jazairi, II/84). Ayat di atas juga menegaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk (hud[an]), rahmat (rahmat[an]) dan sumber kegembiraan (busyra) bagi umat.

Sayang, meski Allah SWT secara tegas menyatakan al-Quran sebagai sumber solusi, kebanyakan kaum Muslim saat ini mengabaikan penegasan Allah SWT ini. Buktinya, hingga saat ini al-Quran tidak dijadikan rujukan oleh umat, khususnya para penguasa dan elit politiknya, untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi. Padahal jelas, umat ini, khususnya di negeri ini, sudah lama dilanda berbagai krisis: krisis keyakinan (misal: munculnya banyak aliran sesat), krisis akhlak (munculnya banyak kasus pornografi/pornoaksi, perselingkuhan/perzinaan, dll), krisis ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll) krisis politik (karut-marut Pemilukada, separatisme, dll), krisis sosial, krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Semua ini tentu membutuhkan solusi yang pasti, tuntas dan segera.

Memang, para penguasa dan elit politik negeri ini bukan tidak berusaha mencari solusi. Namun, solusi yang mereka gunakan alih-alih mampu mengatasi berbagai krisis tersebut, tetapi malah memperpanjang krisis dan menambah krisis baru. Ini karena solusi yang dipakai selalu merujuk pada ideologi sekular, yakni Kapitalisme. Untuk mengatasi krisis keyakinan, misalnya, mereka malah mengembangkan pluralisme. Untuk mengatasi krisis ekonomi, mereka mengembangkan ekonomi yang makin liberal antara lain dengan mengembangkan program privatisasi (penjualan aset-aset negara), terus menumpuk utang luar negeri yang berbunga tinggi, menyerahkan pengelolaan (baca: penguasaan) berbagai sumberdaya alam (SDA) kepada swasta/pihak asing, menyerahkan harga barang-barang milik rakyat (BBM, listrik, gas, bahkan air) kepada mekanisme pasar, dll. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat, dan krisis ekonomi makin parah.

Untuk mengatasi krisis politik mereka terus mengembangkan demokrasi yang justru menjadi akar persoalan politik. Untuk mengatasi krisis pendidikan mereka malah terus melakukan sekularisasi dan ‘kapitalisasi’ pendidikan. Akibatnya, sudahlah mahal, pendidikan tidak menghasilkan generasi beriman dan bertakwa serta berkualitas.

Lalu untuk mengatasi krisis hukum dan keadilan mereka malah memproduksi hukum buatan sendiri yang sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Demikian seterusnya. Akibatnya, berbagai krisis tersebut bukan malah teratasi, tetapi malah makin menjadi-jadi. Semua itu jelas, karena mereka benar-benar telah mengabaikan al-Quran sama sekali.

Dosa Mengabaikan al-Quran

Selain menjadikan berbagai krisis tidak pernah teratasi, mengabaikan al-Quran sesungguhnya merupakan dosa besar bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

وَقالَ الرَّسولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَومِى اتَّخَذوا هٰذَا القُرءانَ مَهجورًا 

"Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an], yakni melakukan hajr al-Qur’ân (mengabaikan al-Quran).

Dulu ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang bersikap abai terhadap al-Quran, sebagaimana kaum kafir dulu. Memang mereka tidak mengabaikan al-Quran secara mutlak. Namun, mereka sering memperlakukan ayat-ayatnya secara diskriminatif. Misal: mereka bisa menerima apa adanya hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan), sikap yang muncul berbeda. Ayat kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishash; dalam QS al-Baqarah [2]: 178), atau kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang; dalam QS al-Baqarah [2]: 216), muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika semua itu diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan al-Quran dan karenanya merupakan dosa besar.

Pentingnya Membumikan al-Quran

Dengan mencermati paparan di atas, umat ini sejatinya segera menyadari, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka saat ini tidak lain dengan kembali menjadikan al-Quran sebagai sumber solusi. Tentu aneh jika selama ini banyak yang mempertanyakan peran Islam dan kaum Muslim dalam menyelesaikan aneka krisis, namun pada saat ada tawaran untuk menjadikan syariah Islam-yang notabene bersumber dari al-Quran-sebagai solusi malah ditolak. Bahkan belum apa-apa mereka menuduh penerapan syariah Islam sebagai ancaman terhadap pluralisme, Pancasila, NKRI dll. Padahal jelas, solusi-solusi yang tidak bersumber dari syariah (al-Quran) itulah yang selama ini nyata-nyata telah “mengancam” negeri dan bangsa ini, yang berakibat pada makin panjangnya krisis dan membuat krisis makin bertambah parah.

Jelas, di sinilah pentingnya umat ini segera membumikan al-Quran, dalam arti menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, al-Quran memang harus diterapkan. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89).

Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara, semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa negara Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang terbengkalai. Padahal menelantarkan ayat al-Quran-walaupun sebagian-termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. Oleh karena itu, berdirinya Daulah Khilafah Islamiah harus disegerakan agar tidak ada satu pun ayat yang diabaikan.

Lebih dari itu, al-Quran telah terbukti menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan umat manusia, terutama dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan mereka. Simaklah pengakuan jujur seorang cendekiawan Barat, Denisen Ross, “Harus diingat, bahwa al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen…Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad, al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama pada masa kini…” (E. Denisen Ross, dalam buku, Kekaguman Dunia Terhadap Islam).

Simak pula komentar W.E. Hocking tentang al-Quran, “Saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan Abad Ketiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

Walhasil, jika al-Quran nyata-nyata merupakan sumber solusi, mengapa penguasa negeri ini tetap mengabaikannya dan enggan menerapkannya dalam kehidupan?!

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Sumber: Buletin Al-Islam edisi 521, www.almarjan.wordpress.com

Selasa, 10 April 2012

                                              Matematika dan Statistika dalam Kajian Filsafat


                                                                   MATEMATIKA

A. Matematika sebagai Bahasa

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artificial” yang baru menyampaikan arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa makna itu matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat dalam bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artificial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang kita kaji. Sebuah objek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja yang sesuai dengan perjanjian kita. Pernyataan matematik mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emosional.

B. Sifat Kuantitatif dari Matematika

Matematika mempunyai kelebihan dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan dalam bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif,. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dalam ilmu. Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut.

C. Matematika : Sarana Berfikir Deduktif

Matematika berfikir secara deduktif menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” namun pengetahuan yang didapat secara deduktif ini sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah diketahui kebenarannya dapat ditemukan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang memperkaya perbendaharaan ilmiah.

D. Perkembangan Matematika

Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1. Sistematik                               2. Komparatif                                3. Kuantitatif

Sistematika : 
Pada tahap ini ilmu menggolong-golongkan objek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik.2.

Komparatif :
Pada tahap ini mulai melakukan perbandingan antara objek yang satu dengan objek yang lain, kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kemudian mulai mencari hubungan didasarkan perbandingan antara di berbagai objek yang dikaji.


Kuantitatif :
Pada tahap ini mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang sedang diselidiki. Bahasa verbal berfungsi baik dalam kedua tahap yang pertama namun dalam tahap ini maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang matematika bukan hanya saja jelas namun juga eksak dengan mengandung informasi tentang objek tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.

Di samping sebagai bahasa matematika berfungsi juga sebagai alat berfikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Menurut Wittgenstein, matematika adalah metode berpikir logis yang dalam perkembangannya membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna.

Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Tokohnya adalah Bertrand Russell dan Whitehead serta Pierre devfermat (1601-1665). Tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804)

Sejarah perkembangan matematika menurut Griffits dan Howson (1974) :
Peradapan Mesir kuno dan daerah-daerah sekitar seperti Babylonia dan Mesopotamia

Zaman ini matematika telah digunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Aspek estetik dikembangkan dimana matematika merupakann kegiatan intelektual dalam kegiatan berpikir yang kreatif. Hal yang sama juga berlangsung di Babylonia dan Mesopotamia yang turut mengembangkan kegunaan praktis dalam matematika. Dalam peradapan Yunani inilah yang meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah dan defenisi tertentu. Euclid pada 300 SM yang mengumpulkan semua pengetahuan ilmu ukur dalam bukunya Element.
Timur (Arab, India, Cina) tahun 1000

Zaman ini didapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar yang telah digunakan dalam transaksi pertukaran. Ditemukan diantaranya kalkulus diferensial.

Sistem matematika sebagai ilmu non euclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1977-1855) dikembangkan oleh Lobachevskii (1973-1856), Bolyai (1802-1860) dan Riemann (1826-1866). Yang menemukan kegunaannya pada waktu Einstein menyusun teori Relativitas.

E. Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika :

Logistis
Immanuel Kant (1724-1804), matematika bersifat sintetik apriori dimana eksistensi matematika bergantung dari pancaindera.

Intuisionis
Jan brouwer (1881-1943), matematika cara berpikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.

Formalis
Gottlob frege (1824-1925), menekankan pada aspek formal dari matematika sebagai bahasa perlambang dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa lambang.

Perbedaan pandangan ini tidak melemahkan perkembangan matematika malah sebaliknya dimana satu aliran memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainnya dalam titik-titik pertemuan yang disebut Black yang memperkukuh matematika sebagai sarana berpikir deduktif.

F. Matematika dan Peradapan

Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradapan manusia itu sendiri. Sekitar 3.500 SM bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol-simbol yang melambangkan angka-angka. Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu diperlukan usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar. Jurang antara mereka yang belajar dengan yang tidak belajar ternyata makin lama makin lebar. Matematika makin lama makin bersifat abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam.

Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradapan manusia. Penduduk kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara” (talking animal), dan penduduk kota yang kurun teknologi ini adalah “makhluk yang berhitung” (calculating animal) yang hidup dalam jaringan angka-angka, bagi ilmu itu sendiri matematika meyebabkan perkembangan yang sangat cepat. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan pada penalarannya lebih jauh.

Matematika sebagai suatu yamg imperatif : sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan, apapun juga bidang pengkajiannya bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif. Ketidaktahuan tentang matematika sering menyebabkan suatu bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif, dimana tanpa mengurangi rasa penghargaan kepadanya, tetap merupakan bidang keilmuan yang belum tumbuh sempurna. Angka tidak bertujuan untuk menggantikan kata-kata, pengukuran sekedar unsur menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupaka penghalang untuk mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap pengetahuan, apakah itu ilmu, filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang sama: sederhana, jelas: transparan bagai kristal kaca.


                                                                 II. STATISTIKA

Peluang merupakan dasar dari teori statistik yang tidak dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa pada abad pertengahan. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam populasi tertentu.

A. Statistika dan Cara Berpikir Induktif
   Ilmu secara sederhana didefenisikan sebagai pengetahuan yang telah diuji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah bersifat faktual, dimana konsikuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindra maupun alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau ditelaah lebih dalam maka pengujian merupakan proses pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Jika hipotesis itu didukung oleh fakta-fakta empiris maka peryataan tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.

Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan kesimpulan umum yang ditarik dalam kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Jadi, dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika deduktif. Di pihak lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat khas dari pernyataan yang bersifat umum dengan menggunakan deduksi. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.

Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Pada penalaran deduktif, kesimpulan yang ditarik adalah benar jika premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Pada penalaran induktif meskipun premis-premis yang dipergunakan adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan belum tentu benar.

Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia maka hal yang paling logis adalah dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh anak umur 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tidak diragukan lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut. Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kepada masalah lain yang tak kurang rumitnya, yakni dalam pelaksanaan kegiatan seperti ini membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak sekali.

Statistik memberikan solusi untuk persoalan itu dengan cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya.

B. Karakteristik Berpikir Induktif
    Kesimpulan yang ditarik secara induktif belum tentu benar, meskipun premis yang dipakai adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah. logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa premis-premis tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak bisa dipastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.

Statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori statistik adalah teori peluang. Menurut bidang pengkajian statistika dapat dibedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang mengkaji dasar-dasar teori statistika, dimulai dari penarikan contoh, distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan merupakan penggunaan statistika teoritis yang disesuaikan dengan bidang tempat penerapannya. Di sini diterapkan bagaimana cara mengambil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana cara menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung harga rata-rata dan sebagainya.

C. Statistika dan Tahap-tahap Metode Keilmuan
    Statistika bukan merupakan sekumpulan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan. Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam kegiatan keilmuwan yang dapat diperinci sebagai berikut:
Observasi

Ilmuwan melakukan observasi mengenai apa yang terjadi, dia mengumpulkan dan mempelajari fakta yang berhubungan dengan masalah yang sedang diselidikinya.
Hipotesis

Untuk menerangkan fakta yang diobservasi, dia merumuskan dugaannya dalam sebuah hipotesis atau teori yang menggambarkan sebuah pola, yang menurut anggapannya, ditemukan dalam data tersebut.
Ramalan

Dari hipotesis atau teori maka dikembangkanlah deduksi. Deduksi ini, jika teori yang dikemukakan itu memenuhi syarat, akan merupakan suatu pengetahuan baru, yang belum diketahui sebelumnya secara empiris, tetapi dideduksikan dari teori. Nilai dari suatu teori tergantung dari kemampuannya untuk menghasilkan pengetahuan baru tersebut. Fakta baru ini disebut ramalan, bukan dalam pengertian menujum hari depan, namun menduga apa yang akan terjadi berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Pengujian kebenaran

Ilmuwan lalu mengumpulkan fakta untuk menguji kebenaran ramalan yang dikembangkan dari teori. Mulai dari tahap ini maka keseluruhan tahap-tahap sebelumnya berulang seperti sebuah siklus. Jika ternyata teorinya didukung oleh data, maka teori tersebut mengalami pengujian dengan lebi berat, dengan jalan membuat ramalan yang lebih spesifik dan mempunyai jangkauan yang lebih jauh, dimana ramalan ini kebenarannya diuji kembali.

D. Kegunaaan Statistika
     Para statistisi memandang statistika mempunyai nilai guna sebagai berikut:
Komunikasi ialah sebagai penghubung beberapa pihak yang menghasilkan data statistika atau berupa analisa statistika, sehingga beberapa pihak tersebut akan dapat mengambil keputusan melalui informasi tersebut.
Deskripsi yaitu penyajian data dan mengilustrasikan data. Misalnya mengukur hasil produksi, laporan hasil liputan berita, indeks harga konsumen, laporan keuangan, tingkat inflasi, jumlah penduduk, hasil pendapatan dan pengeluaran negara dan sebagainya.
Regresi yaitu meramalkan pegaruh data yang satu dengan data yang lainnya dan untuk mengantisipasi gejala-gejala yang akan datang.
Korelasi yaitu untuk mencari kuatnya atau besarnya hubungan data dalam suatu penelitian.
Komparasi yaitu membandingkan data dua kelompok atau lebih.

DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Jujun S, 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: CV. Muliasari.